Minggu, 26 April 2015

Shikamaru Hiden: A Cloud Drifting in Silent Darkness Chapter 1 [Translation Indonesia English]

シカマル秘伝 闇の黙に浮ぶ雲 Shikamaru Hiden: Yami no Shijima ni Ukabu Kumo (Shikamaru Hiden: A Cloud Drifting in Silent Darkness) ● Dalam Bab 1: Konoha (木の葉)
 

Shikamaru Hiden, Chapter 1

Sejak kapan aku berhenti mengatakan semua hal itu merepotkan?

Pikiran itu terlintas di kepala Shikamaru saat ia sibuk memandang langit biru. Meskipun angin berhembus tidak begitu kencang, awan-awan tipis berlarian mengejar satu sama lain melewati garis pandang Shikamaru. Bentuknya yang kacau menyerupai keadaan Shikamaru saat itu. Kemudian ia menertawakan pikirannya sendiri.

Bagaimanapun juga, sebenarnya ia sedang sibuk.

Dua tahun setelah Perang Dunia Shinobi ke-4, dunia akhirnya mulai mengembalikan kestabilannya. Aliansi Kage yang terbentuk saat perang pecah berlanjut hingga saat ini dan dunia shinobi telah berubah drastis dibanding sebelumnya.

Aliansi awalnya terbentuk dengan anggota 5 Desa Besar Ninja, namun seusai perang, negara-negara kecil lainnya mulai mendeklarasikan partisipasinya dalam aliansi. Organisasi yang berawal dari sebuah aliansi telah berkembang menjadi Persatuan Shinobi, yang melibatkan setiap shinobi dari negara yang berpartisipasi.

Kontrak yang telah disetujui oleh desa-desa yang mengakui keberadaan aliansi telah dibawa menjadi Persatuan Shinobi. Setiap desa yang berpartisipasi di Persatuan Shinobi memiliki perwakilanshinobi yang ditugaskan untuk berdiskusi ataupun bernegosiasi dengan Negara lainnya. Dengan cara ini, keseimbangan kerja antar desa dapat terjamin, perbedaan antar desa dapat dipersatukan dan dunia shinobi dapat mencapai perdamaian.

“Haa…”

Helaan nafas Shikamaru menguap di udara. Punggungnya terasa kaku karena berbaring di lantai yang dingin, dan jika ia tetap berbaring seperti ini, maka kemungkinan besar ia akan terserang pilek. Tapi ia memiliki alasan untuk tetap berbaring.

Tumpukan pekerjaan menunggunya.

Begitu menumpuk dan itu sangat tidak lucu.

Shikamaru berniat untuk beristirahat sebentar sehingga ia mengizinkan dirinya untuk bermalas-malasan sore ini. Ia menyadari, tepat saat ia bangkit dari berbaringnya nanti, pikirannya akan kembali tersita oleh pekerjaan. Dan ketika hal itu terjadi, Shikamaru tahu ia tidak akan mendapat kesempatan untuk beristirahat seperti ini lagi.

Karena itu, ia menolak untuk bergerak dan mengabaikan rasa dingin dari lantai yang begitu menusuk, bersikeras untuk beristirahat selama yang ia bisa. Hingga seseorang menemukannya, Shikamaru tak berniat untuk bergerak seinchi pun dari tempatnya ini.

‘Tempat ini’ adalah atap dari kediaman Hokage.

Kalian bisa melihat wajah-wajah Hokage dari generasi ke generasi terpahat di bukit paralel yang mengitari tempat dimana Shikamaru berbaring.

Dari kiri ke kanan, terdapat pahatan wajah Hokage pertama, Hashirama, kemudian adiknya, Tobirama, setelah itu Hokage Ketiga yang gugur saat Orochimaru menyerang Konoha, yaitu Hiruzen, dan “Konoha no Kiroi Senko”, Namikaze Minato. Hokage kelima, salah seorang dari Tiga Sannin Legendaris selain Jiraiya dan Orochimaru, yaitu Tsunade.

Mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi Hokage.

Kemudian wajah seorang pria yang kini menjabat sebagai Hokage terpahat disamping wajah Tsunade.

Sepasang mata yang terlihat sayu tampak di antara rambut keperakannya, begitu pula dengan batang hidungnya, sedangkan bagian wajah lainnya tersembunyi dibalik sebuah masker.

Hokage adalah simbol dari Konoha, sebuah jabatan yang tidak dapat diduduki kecuali kau telah diakui oleh setiap shinobi di desa, meskipun wajah dari simbol yang seharusnya terukir sebagai penghormatan di bukit itu setengahnya tersembunyi dibalik sebuah masker…

Hatake Kakashi.

Merupakan nama pria yang kini menjabat sebagai Hokage.

Guru dari duo yang memimpin menuju kemenangan dalam perang lalu. Tak seorangpun di dunia ninja yang tak mengetahui namanya. Shikamaru yang mengenal pria itu dan kedua muridnya secara personal, merasa mereka bukanlah orang-orang yang memiliki kepribadian seperti ‘bintang jatuh’. Begitu banyak penggemar yang mengidolakan dan mengidam-idamkan mereka bertiga, menyebut mereka sebagai “pahlawan yang melegenda”, namun kenyataannya tak satupun dari mereka yang cocok disebut “legenda”.

Kakashi, seorang pria yang mampu menyelesaikan segala hal walau dalam keadaan krisis, akan kembali memerankan kehidupan sehari-harinya: pria dewasa yang tidak menampakkan kelebihan apapun, yang tampak tidak berhasrat melakukan apapun.

Dua pahlawan lainnya memiliki masalah yang serupa. Yang satu bukan main bodohnya dan yang satu lagi bukan main keras kepalanya. Ini semua karena dunia tidak mengetahui sisi lain mereka sehingga dunia menyebutnya sebagai ‘legenda’.

“Lalu apa yang telah kulakukan..?”

Kalimat itu keluar dari mulut Shikamaru tanpa terpikir olehnya.

Ia sendiri merupakan tipe orang yang sama sekali tidak mendekati kata pahlawan. Ia pun tidak pernah berharap untuk menjadi salah satunya.

Jika kalian menganggap bahwa ia ingin menjadi ninja yang menjalani latihan keras untuk meningkatkan kemampuan ninjutsunya, maka kalian salah. Ia tak pernah berpikir untuk mempelajari ninjutsu medis ataupun menjadi ahli di pasukan garis depan. Jika kalian mengatakan bahwa ia ingin menjadi seseorang yang berpangkat tinggi sebagai pemecah kode atau dalam operasi medis, kalian juga salah.

Menjadi seorang yang biasa-biasa saja…

Itu merupakan impian Shikamaru.

Ia ingin menjadi ninja yang biasa saja dan memiliki pekerjaan yang biasa, menikahi wanita yang biasa-biasa saja, memiliki anak yang biasa-biasa saja, dan setelah itu menikmati hari tua yang biasa-biasa saja.

Kemudian semua hal itu akan berakhir suatu saat.

Adakah hal yang lebih menyenangkan dari rencana hidupnya?

Ia rasa tidak.

Di hari yang cerah, berbaring dan memandang langit, melihat awan melayang yang membawa pergi pikirannya. Saat hari hujan, ada bidak-bidak shogi yang menemaninya, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tertekan karena ekspektasi dari orang-orang. Tidak ada rasa stres.

Bukankah itu adalah kehidupan yang indah?

“Haaaa…”

Itu merupakan tarikan nafas yang dalam dari perutnya.

Bajingan yang disebut “kenyataan” merupakan lawan yang tangguh.

Jika yang kau lawan adalah manusia, maka akan datang hari dimana kau akan menang melawannya. Meskipun mereka kuat seolah tuhan, mereka pasti memiliki kelemahan. Lawan dalam perang yang lalu adalah seseorang yang sangat kuat, semua shinobi memfokuskan kekuatan mereka, bekerja sama, dan menang melawan musuh. Bukankah begitu?

Kau pasti akan menang melawan musuh di hadapanmu.

Walaupun begitu…

“Kenyataan” adalah musuh tak berwujud yang tak akan—tak akan pernah terkalahkan.

Meskipun Shikamaru terus berharap dan menginginkan yang sebaliknya, kenyataan tanpa ampun menyeretnya ke dalam takdir yang tidak ia inginkan. Shikamaru, seorang yang sangat berharap untuk menjadi biasa-biasa saja, kini merupakan seseorang yang sangat dibutuhkan dan diandalkan dalam Persekutuan Shinobi.

Ia dibebani oleh tugas yang banyak. Semua misi dari Daimyo dan warga setiap negara harus diklasifikasikan dari peringkat A hingga D, setiap karakteristik desa harus diperhitungkan untuk menentukan mana yang paling cocok untuk ditugaskan—kemudian sebagai ketua dari Persatuan Shinobi, konsultasi 5 Kage. Mereka menggunakan Shikamaru untuk segala hal, hingga menjadi partner shogi dari Tsuchikage yang sudah tua.

“Konoha no Shikamaru” dari Persekutuan Shinobi.

Demikian julukan yang diberikan pada Shikamaru.

Meskipun ia tak ingin menonjolkan diri, meskipun ia tak ingin sukses dalam hal apapun, meskipun ia terus dan terus melawan hal tersebut, orang-orang sekitarnya terus memaksanya sehingga hal tersebut menjadikannya setingkat di atas yang lainnya.

Kesalahan pertamanya terletak pada ujian promosi Chuunin.

Ujian Chunin, yang diikuti oleh desa ninja dari 5 negara besar termasuk genin dari negara-negara kecil, berlangsung di tengah kekacauan yang dibuat Orochimaru dan menewaskan Hokage Ketiga. Karena beberapa alasan, Shikamaru dipromosikan sebagai Chuunin.

Diantara seluruh peserta, hanya ia satu-satunya yang menjadi Chuunin,

Situasi tersebut merupakan situasi dimana Shikamaru ingin berteriak “apa yang telah kaulakukan??!” pada dirinya lebih dari yang seharusnya.

Kesalahan fatal yang ia perbuat adalah pada babak dimana para genin dipasangkan untuk bertarung satu lawan satu. Jurus kagemanenya sukses mengejutkan lawannya, seorang kunoichi galak yang membawa sebuah kipas yang tak terkira besarnya yang mampu meniupkan angin yang sangat kencang. Namun pada akhirnya, Shikamaru sendiri memilih menyerah.

Pengorbanan ini yang membuat Shikamaru sangat dihargai.

Menjadi Chuunin, termasuk memimpin anak buah, merupakan hal yang membutuhkan kemampuan untuk menganalisa keadaan dengan tepat. Para penguji menyetujui pilihan Shikamaru untuk menyerah, dan memberikannya nilai yang paling tinggi.

Hal itu merupakan hasil yang paling tidak dikehendaki.

Ia sama sekali tidak tertarik mengikuti ujian tersebut, gurunya lah, Sarutobi Asuma, yang memaksanya untuk mengikuti ujian tersebut. Ia tidak pernah berniat untuk mengikuti evaluasi apapun, tidak berhasrat sama sekali. Namun kenyataan tetap menuntun Shikamaru menjadi Chuunin, dan semua orang di desa memandangnya dengan cara yang berbeda.

Dan sejak saat itu, hidupnya mulai keluar dari jalur yang ia harapkan.

Ketika Sasuke meninggalkan desa, Shikamaru ditugaskan sebagai pemimpin dari tim yang beranggotakan teman-teman sekelasnya untuk membawa kembali Sasuke. Setelah itu, ia diberikan misi yang berbeda dari teman-temannya. Ia menolak dan memprotes, namun kenyataan justru membawa Shikamaru ke tingkat yang lebih dan lebih lagi.

Sejak Perang Dunia Shinobi ke-4… Dua tahun telah berlalu.

Shikamaru telah berusia 19 tahun. Usia dimana ia tak bisa lagi disebut anak-anak.

Ia berpikir bagaimana seharusnya kau bersyukur ketika orang-orang mengharapkan hal-hal yang hebat darimu. Bukankah menjadi seseorang yang diandalkan merupakan pencapaian yang hebat? Jawabannya tidak perlu disebutkan. Salah satu contoh adalah temannya sendiri, Naruto, dan bagaimana keinginannya yang kuat untuk menjadi seseorang yang dapat diandalkan telah mengubahnya menjadi seorang pahlawan desa—tidak, bahkan pahlawan dunia ninja.

Shikamaru sangat tahu bahwa manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan satu sama lain. Itulah mengapa ia tak memiliki rasa benci seperti "andai kau tidak pernah ada" pada orang-orang disekitarnya. Tak peduli seberapa besar penolakan yang diajukan Shikamaru, ia tak pernah dibuang dari dalam misi.

Sudah 19 tahun sejak ia dilahirkan ke dunia, sudah banyak hal dan permasalahan yang ia hadapi.

Kelompok yang berniat untuk mengambil alih dunia, "Akatsuki", telah membunuh gurunya, Asuma. Kekasih Asuma, Kurenai, saat itu tengah mengandung anak Asuma. Anak itu sekarang telah berusia dua tahun. Namanya adalah Mirai.

Menjadi guru dari Mirai...adalah sebuah janji yang ia harus penuhi.

Ayah Shikamaru, Shikaku, ditugaskan menjadi pengatur strategi utama di Perang Dunia Shinobi ke-4. Akibat Obito menggunakan kekuatan penghancur dari Juubi untuk menghancurkan Markas Besar Aliansi, ayahnya gugur bersama dengan ayah Ino, Inoichi.

Bahkan kini, kalimat terakhir ayahnya dan Inoichi masih berdenging jelas di telinga Shikamaru.

[Kami akan selalu bersamamu, jangan lupakan itu!]

Menjadi pria yang hebat seperti ayahnya...juga merupakan janji yang ia buat kepada pria yang membantu membawanya ke dunia ini.

Dan juga...

Naruto.

Pahlawan shinobi yang sangat percaya bahwa dirinya mampu menjadi Hokage, yang sama sekali tidak pernah meragukan fakta yang dihadapinya.

Dalam pertarungan melawan Juubi, Shikamaru berada di ambang kematian. Ketika ia sedang berusaha diselamatkan oleh Sakura, terlintas pikiran di kepalanya :

Tidak ada yang pantas menjadi penasehatnya selain diriku!

Jika Naruto menjadi Hokage, maka Shikamaru akan menjadi tangan kanannya. Itulah mimpinya.

Ia sudah memiliki banyak sekali kewajiban yang harus dipenuhi, bahkan ia tak mau menghitungnya. Tidak salah lagi, itu semua karena adanya dorongan yang terus membuatnya maju. Menjadi seseorang yang dibutuhkan adalah hal yang baik, dan ia seharusnya bersyukur atas opini semua orang terhadapnya yang membuatnya dapat hidup seperti sekarang ini.

Ia seharusnya bersyukur, namun...

Kadang ia merasa lelah.

Shikamaru yang sebenarnya bukanlah Shikamaru yang semua orang kira. Ia yang sebenarnya adalah seorang pria yang selalu berpikir bahwa semua hal itu merepotkan, yang mengharapkan kehidupan yang biasa saja. Tipe pria yang dapat ditemukan dimana saja. Dan semakin besar ekspektasi orang terhadapnya, semakin ia ingin melarikan diri. Itu adalah kebenaran dibalik seorang Nara Shikamaru.

Dulu, teman-temannya sangat mengerti betapa ia merupakan seseorang yang selalu mengeluh, betapa ia terlalu malas untuk menyelesaikan apapun.

Sejak kapan mereka mulai keliru memahaminya?

Sejak kapan ia berhenti mengatakan semua hal itu merepotkan?

Secara logis, kedua hal itu dimulai pada waktu yang hampir bersamaan.

"Sejak kapan...?"

Saat ia memandangi awan, sebuah galur tertangkap pandangan Shikamaru. Matanya menyipit agar dapat melihat jelas benda apa yang baru saja ia lihat.

Seekor elang mendekat ke garis pandangnya...

Elang tersebut terbang ke arah barat, dimana sebagian dari langit mulai berwarna merah mudaterang karena matahari terbenam. Elang tersebut mengepakkan sayapnya dan perlahan bergerak mengitar. Shikamaru berada di tengah kitaran elang tersebut. Bukan—lebih tepatnya elang tersebut bergerak mengitari kediaman Hokage.

Shikamaru bukan hanya terduduk, ia berdiri tepat di atas kakinya.

Pikirannya yang melayang kembali fokus, matanya mengunci ke arah elang itu, tidak melepaskan pandangannya sedikitpun

Hitam pekat...

Elang itu berwarna hitam pekat, seperti dilukis dengan tinta.

Tidak—elang itu benar-benar dilukis menggunakan tinta.

Choujuu Giga...

Jurus Sai...

Sai adalah pria yang bergabung dengan Naruto dan Sakura di Tim 7 sebagai pengganti Sasuke. Keahliannya adalah jurus Choujuu Giga, melukis hewan menggunakan tinta dan membuat mereka hidup dan bergerak.

Elang yang terbang di atas kepala Shikamaru pasti dari Sai...

"Akhirnya datang juga..."

Sesuai pandangan Shikamaru, elang itu berhenti bergerak mengitar dan mulai menurun.

Shikamaru bergegas menuju tangga. Disaat ia mencapai ujung tangga, ia akan berada di kantor Hokage. Elang tersebut pasti menuju ke sana.

Saat Shikamaru mencapai tangga, elang tersebut menghilang di sisi belakang kediaman Hokage, kemudian tampak bayangan wajah seseorang. Shikamaru segera menuruni tangga menuju lorong kantor Hokage.

Ia membuka pintu tanpa perlu mengetuknya.

"Oh, Shikamaru"

Kakashi berbicara, berdiri dibalik meja yang berisi tumpukan buku dan dokumen, membaca sebuah gulungan.

"Apakah elang dari Sai baru saja...?"

"Ya, itu benar"

Kakashi membalikkan gulungan ke arah Shikamaru agar ia dapat membacanya. Shikamaru memandang kertas putih berisi tulisan dan kata-kata yang berantakan itu. Pesan itu tampak seperti ditulis dengan terburu-buru.

"Situasinya lebih buruk dari yang kita kira".

Tatapan Kakashi bertemu tatapan Shikamaru saat ia mulai bicara. Tatapan matanya jauh lebih serius dari yang Shikamaru takutkan. Bahkan suara samar-samar yang biasanya digunakan Hokage sekarang berubah menjadi lebih muram. Sikap Kakashi memberikannya firasat yang sangat buruk.

Mata Shikamaru mengikuti tulisan yang terdapat dalam gulungan. Ketika sebagian besar pesan Sai ditulis dengan tulisan yang sangat kecil dan halus menggunakan kuas tipis, kalimat terakhir ditulis dengan besar, tebal dan kasar :

"AKU TIDAK TAHU LAGI SIAPA AKU SEBENARNYA"

Bersambung...

[English]

Chapter 1

Konoha
 

-Since when did I stopsaying things were troublesome…?
 

That was the thought passing through Shikamaru’s head as hegazed up at the blue sky. Even though the wind wasn’t that strong, thin cloudswere hurrying along one after another, passing in and out of his line of sight.Their flustered state seemed similar to Shikamaru’s own. He laughed derisivelyat himself for the thought.
 

At any rate, he was busy.
 

Two years after the Fourth Shinobi World War, the world wasfinally starting to regain its stability. The Kage Alliance that had come intoexistence when the war broke out had continued to this day, and the world of Shinobi was drastically different than it used to be.

The alliance might have started between the five hidden villages, but after the war, small neighbouring countries started to declare their participation in the alliance as well. It had come to the point the organisation that had started out as an alliance was developing into a Shinobi Union, one that involved every shinobi in each participating nation.
 

Contracts that had been undertaken individually by villages prior to the union’s existence were now being brought towards the Shinobi Union collectively. Each village who participated in the union had shinobi representatives assigned to every other village for discussing negotiations over contracts. In this way equilibrium of labour between villages was guaranteed, the disparity between villages was revised and the Shinobi World could finally greet the era of peace with open arms.
 

“Haa…”
 

Shikamaru’s sigh disappeared up into the sky. His back was absolutely freezing thanks to lying down on the cold stone floor beneath him, and if he stayed like this, then he was probably going to end up catching a cold. But he had his reasons for not getting up.
 

Work was waiting for him.
 

So much work it wasn’t even funny.
 

It was only because Shikamaru was intending on a short break that he was allowing himself to laze around in the afternoon like this to begin with. But he also knew that the moment he so much as sat up, his mind would slip back into work mode. And when that happened, Shikamaru was perfectly aware that he wouldn’t get another chance to rest like this again.
 

And so, he refused to move despite the cold, stubbornly intent on resting as long as he could. Until somebody found him out, Shikamaru didn’t intend to move an inch from this spot.
 

‘This spot’ was the roof of the Hokage Residence.
 

You could see generations of Hokage’s faces carved into the mountain parallel to the round roof Shikamaru was sprawled out on. In order from the left, there was the first generation’s Hashirama, then his brother Tobirama. There was the Third who had died during Orochimarui’s Konoha Crush plot, Hiruzen, and then the ‘Yellow Flash’ Namikaze Minato. The Fifth was a legend along with Jiraiya and Orochimaru, one of the three Sannin, Tsunade.
 

There were all past Hokage.
 

Now, the face of the man who was the current Hokage could be found carved next to Tsunade’s.
 

A pair of sleepy looking eyes peeking out from underneath wire-like hair could be seen, as well as the bridge of his nose, while the rest of his well-defined features were hidden under a mask.
 

The Hokage was a symbol of Konoha. It was a position that couldn’t be obtained unless you were acknowledged by every single shinobi in the village. Even though that symbol’s face was supposed to be carved into the mountain as a commemoration, to still keep the bottom half hidden under a mask…
Hatake Kakashi.
 

That was the name of the current Hokage.
 

The teacher of the two who had lead the way to victory during the war, there wasn’t a single person in the Shinobi World who didn’t know his name. Shikamaru on the other hand, knowing both the man and his students personally, was far from star-struck. There were fans who adored and fawned over the three, saying they were ‘heroes of legend’ but in reality none of the three were really types to fit the term “legend”.
 

Kakashi, while certainly a man who got things done during a crisis, turned back to his usual role when it came to everyday life: a no-good adult who didn’t feel like doing much of anything.
 

The other two heroes had similar problems as well. One was an abysmal idiot. The other, abysmally stubborn. It was because the rest of the world didn’t know about the hopeless sides of those three that they were being hailed as ‘living legends’.
 

“What am I even doing…?”
 

The words left Shikamaru’s mouth without him really thinking about it.
He himself was the type of person who would never become anything close to a hero. He never wanted to be one in the first place.
 

If you said he wanted to be one of those ninja who practiced vigorously to improve their ninjutsu, you’d be wrong. He certainly never thought about studying medical ninjutsu and becoming a specialist in the vanguard back-up, either. If you said he wanted to be someone with a high rank in encryption or in 

medical surgery, you’d be wrong too.
 

He just…wanted everything to be average.
 

That was Shikamaru’s dream.
 

He wanted to be an average ranked ninja who’d have an average job, marry an average wife and have an average child, and then, after an average elderly prime…
 

Well, everything came to an end one day.
 

Was there any greater happiness to be found than in a life plan like that?
He didn’t think so.
 

On days with good weather, lying down like this and watching the sky, seeing the clouds floating past and taking your thoughts with them. On rainy days, having shougi pieces as your company would be more than enough. There would be no pressure from people’s expectations. No stress, either.
 

Wasn’t that a wonderful sort of life?
 

“Haaa…”
 

It was a deep sigh, issued right from the bottom of his stomach.
 

The bastard called “reality” was a really tough opponent.
 

If the thing you were fighting was a human being, then at least there’d come a day where you would win against them. Even if they were a god-like person, they had to have a weakness somewhere. The enemies in the war had been abominations, and yet all the shinobi had focused their powers together and won against them, hadn’t they?
 

You can win against an opponent in front of you.
However…
 

Reality is an opponent without substance that you can never, ever defeat.
No matter how Shikamaru kept wishing and wanting otherwise, reality callously kept sending him towards the exact sort of fate he did not want. Shikamaru, who had wished so badly to be ‘average’, was now someone the Shinobi Union couldn’t do without.
 

He had so much work. All the jobs taken on by each nation’s Daimyo and citizens had to be classified from A to D rank, and then each village’s characteristics had to be carefully taken into account to figure out which one was most suitable for the allotment of labour – and then there were the Chiefs of the Union, the Five Kage’s consultations. They used him for everything, to the point where he even ended up being a shougi partner for the old Tsuchikage.
 

“The Shinobi Union’s Shikamaru of Konoha.”
 

There were people who even went around calling him that now.
 

Even though Shikamaru didn’t want to stand out, even though he didn’t want to succeed at anything, even though he fought and fought against it, his surroundings kept pushing him until he rose above others.
 

His first mistake had been at the Chuunin Promotion Exams.
 

The Chuunin Exams, started by the villages of the Five Kage and including even the genin of other small countries. In the midst of the chaos of Orochimaru’s plotting and the Third’s death, for some reason Shikamaru was promoted to the rank of chuunin.
 

Amongst all the applicants, he was the only one to get that promotion.
It was the kind of situation where Shikamaru felt that yelling ‘what have you done?!’ would have been more than appropriate.
 

His fatal mistake had been in the part of the exam where genin were paired off to fight against each other. His kagemane jutsu’s success had greatly shocked his opponent, a sassy kunoichi carrying an absurdly large fan that created giant gusts of wind, but at the end of their stalemate, it was Shikamaru himself who threw in the towel.
 

It was this forfeit of Shikamaru’s that was so highly valued.
Being a Chuunin included leading subordinates. That was why the ability to precisely analyse one’s situation was the one most highly valued. The examiners approved of Shikamaru accepting that he was cleanly defeated, and gave him the highest evaluation.
 

It was a really unwelcome evaluation.
 

It was an examination he hadn’t wanted any part in, one that he’d been forced into entering by his teacher’s, Sarutobi Asuma’s, insistence. He hadn’t intended on such on evaluation, hadn’t felt the slightest desire for one either. But reality had still lead Shikamaru to becoming a chuunin, as well as to everyone in the village looking at him differently.
 

And ever since then, Shikamaru’s life plan had started to slip out of his grasp.
When Sasuke left the village, Shikamaru was assigned as a Team Leader working together with his classmates to try to bring him back, and after that as well, he was given the most missions out of all his classmates. He resisted and protested, but reality just kept bringing Shikamaru higher and higher up in rank.
 

Since the Fourth Shinobi World War…it’d been two years.
 

Shikamaru had become 19 years old. It was an age where he could no longer be called a child.
 

He wondered just how grateful you should be for people expecting great things from you. Was being someone who others depended on really such a wonderful achievement? The answer went without being said. There was a plain example in Shikamaru’s friend, Naruto, and how his desire to be relied on by everyone had turned him into the whole village’s– no, rather, the whole Shinobi World’s hero.
 

Shikamaru knew very well that people were living things who would end up depending on one person or another. That’s why despite his misgivings, he didn’t feel any hateful feelings such as ‘if only you didn’t exist’ towards the people who relied on him. And no matter how much he was against the idea of being depended on, he had never once cut corners on missions.
 

It had been 19 years since he’d been born into this world, and yet he already had so many obligations and entanglements he’d gotten himself involved in.
 

The group who had intended to take over the world, the “Akatsuki”, had killed his teacher Asuma. Asuma’s girlfriend Kurenai had been pregnant with Asuma’s child. That child was now two years old. Her name was Mirai.
 

To become Mirai’s teacher…it was a promise that he absolutely had to keep.
 

Shikamaru’s father, Shikaku, had been tasked with being the Alliance’s main strategist at the time of the Fourth Shinobi World War. When Obito used the destructive power of the resurrected Ten Tailed Beast to aim for the Alliance’s Headquarters, his father had died alongside Ino’s father, Inoichi.
 

Even now, his father’s and Inoichi’s last words were still ringing clearly in Shikamaru’s ears.
 

[We are always within you. Never forget that!]
 

To become as great a man as his father…it was a promise he’d made to the man who had helped to bring him into this world. 

And then, there was…
 

Naruto.
 

Honest to a fault, the hero of Shinobi who believed wholeheartedly that he’d become Hokage, who never doubted the fact for even a moment…
 

During the fight with the Ten Tails, Shikamaru had been on the brink of death. While he was being healed by Sakura, Shikamaru had this thought:
Nobody is more suited to being his advisor than me…!
 

If Naruto became the Hokage, then Shikamaru would be his right hand man. It was his dream.
 

He had so many obligations already, he didn’t even want to count them. There was no mistake that it was all because of that same force that kept pushing him forwards. It was a good thing to be needed, and he should be grateful for everyone’s opinion of him allowing him to live as he was.
 

He should be grateful, but… 

He got tired sometimes.
 

Shikamaru’s real self wasn’t the man everyone thought he was. His real self was a man who thought everything was troublesome, who wished for an average life. The kind of man that could be found anywhere. And the greater people’s expectations of him became, the more he wanted to run away. That was the truth behind the man that was Nara Shikamaru.
 

In the old days, all his comrades had fully understood how full of complaints he was, how much he didn’t feel like accomplishing anything.
 

Since when had they started to misunderstand him?
 

Since when had he stopped calling things troublesome?
 

Logically, both of those things must have started around the same time.
 

“When did it start…?”
 

As he gazed up at the clouds, deep furrows came into Shikamaru’s brow. His eyes narrowed as he thought hard on the subject, until he could only see a little bit of the sky.
 

A single hawk came into his line of sight…
 

The hawk was flying West, where parts of the sky were already beginning to be dyed a light pink from the setting sun. It spread out its wings and slowly started to circle. Shikamaru happened to be right in the middle of the hawk’s arc. No – the correct thing to say was that the hawk was circling around the Hokage Residence.
 

Shikamaru didn’t just sit up. He leapt right to his feet.
 

His mind that had been dwelling in depths as deep as the sea was sharpening again, and his eyes locked onto the hawk, not glancing away for a moment.
 

Jet black…
 

The hawk was so pitch black, it could’ve been painted with ink.
 

No – it really was a hawk painted with ink.
 

Super Beast Imitating Drawing…
Sai’s jutsu.
 

Sai was the man who had joined Naruto and Sakura on team 7 as a replacement for the missing Sasuke. His specialty was the Super Beast Imitating Drawing Jutsu, painting ink animals and giving them life and movement.
 

The hawk flying overhead Shikamaru was definitely from Sai.
 

“It’s finally come…”
 

In Shikamaru’s field of vision, he could see the hawk stop going around in circles and start to descend.
 

Shikamaru ran towards the stairs that went down from the roof. As soon as he reached the bottom of those, he’d be at the Hokage’s office. The hawk would definitely end up going there.
 

The moment Shikamaru had reached the stairs, the hawk also disappeared behind the side of the Hokage Residence, as a shadow would flit over one’s face. 

Shikamaru leapt down the stairs, running down the hall to the Hokage Office.
 

He opened the door without even bothering to knock.
 

“Oh, Shikamaru.”
 

It was Kakashi who spoke. He was standing behind a desk cluttered with piles of books and documents, reading an open scroll.
 

“Did Sai’s hawk just…?”
 

“That’s right.”
 

Kakashi turned the scroll over to Shikamaru so he could see. The messily written sentences on the white paper of the scroll flitted in and out of Shikamaru’s sight. It looked like a very hastily written message.
 

“The situation seems to be even graver than we’d thought.”
 

Kakashi’s gaze met Shikamaru’s as he spoke, the look in his eyes even more solemn than Shikamaru had dreaded it would be. Even the usual vague way of speaking the Hokage had was now entirely replaced by a sombre tone. 

Kakashi’s whole attitude was giving him an awful sense of foreboding.
 

Shikamaru’s eyes followed the handwriting on the scroll. While most of Sai’s message was written with very small, delicate writing from a fine brush, the last sentence alone stood out, thick and violently written:
 

“I don’t know who I am anymore.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar