Minggu, 26 April 2015

Shikamaru Hiden: A Cloud Drifting in Silent Darkness Chapter 4 [Translation Indonesia and English]

シカマル秘伝 闇の黙に浮ぶ雲 Shikamaru Hiden: Yami no Shijima ni Ukabu Kumo (Shikamaru Hiden: A Cloud Drifting in Silent Darkness) ● Dalam Bab 4: End


[Indonesia]

Shikamaru Hiden, Chapter 4

-Shikamaru sedang berasa di ruangan Kakashi. Hokage Keenam itu dikelilingi oleh segunung dokumen seperti biasanya. Ia menandatangani dokumen-dokumen itu secepat kilat seakan hanya menunggu waktu hingga ia melemah karena kelelahan


Jendela sepanjang ruangan itu dibiarkan terbuka, dan kalian dapat melihat jalanan di sepanjang Konoha. Desa itu tampak bersinar dibawah teriknya matahari pagi, semuanya dibalut dalam atmosfir lembut yang menenangkan.


“Aku sudah membuatmu menunggu.” Ucap Kakashi sembari merapikan seberkas dokumen di mejanya. "Ada urusan apa kau datang kemari?"


“Negeri Sunyi.”


“Ah, itu ya…”


Shikamaru masih belum menyelesaikan laporannya tentang pertemuan Persatuan Shinobi yang lalu. Tidak ada hal yang terlalu penting dalam laporan itu, jadi ia meninggalkannya.


“Semuanya berjalan seperti biasa di Persatuan Shinobi. Organisasi itu terdiri dari orang-orang yang berkapabel, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."


“Kau adalah salah satu dari orang-orang yang berkapabel itu."


Apakah itu benar? Apakah ia benar-benar merupakan orang yang pantas untuk mewakili Konoha?


“Apa kau benar-benar berniat untuk pergi?" Tanya Kakashi.


“Ya.”


Kakashi menghembuskan nafas yang besar karena jawaban itu.


“Apa kau benar-benar harus pergi?"


“Sai sudah tertangkap. Desa kita sudah kehilangan shinobi dengan jumlah yang besar, baik mereka yang hilang saat perang maupun yang hilang setelahnya. Apakah mereka pergi dengan keinginan sendiri atau mereka ditangkap oleh Gengo adalah hal yang harus kita verifikasi.


“Tekadmu sudah sangat bulat, huh.”


Shikamaru mengangguk dalam diam.


Kakashi memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya. Ia kembali melihat ke arah Shikamaru.


“Aku mengerti. Aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Menurutmu siapa yang akan kau bawa? Kau tidak berencana pergi sendiri, kan?"


“Bisakah kau menyiapkan dua Anbu untukku?"


“Huh…” Kakashi menopang dagunya dengan satu tangan, sikunya berada di atas meja. Matanya menampakkan ekspresi serius. "Kenapa tidak Ino dan Chouji?"


“Kombinasi InoShikaChou dapat digunakan untuk serangan diam-diam, namun aku rasa tidak cocok digunakan dalam misi ini."


“Karena ini misi pembunuhan, kan?"


“Terlebih lagi, penyelinapan adalah hal penting dalam misi ini. Aku butuh orang yang dapat menyembunyikan chakra."


“Hmm…”


Kakashi memejamkan matanya dan berpikir. Ia memikirkan permintaan Shikamaru dan mencocokkannya dengan beberapa rencana di kepalanya.


“Yang melakukan serangan untuk membunuh bukan kau, kan?".


“Aku berniat menggunakan jurusku untuk mengunci target."


“Kalau begitu kau membutuhkan seseorang yang akan melakukan serangan untuk membunuh." Kakashi menyimpulkannya terlebih dahulu. Ia mengerti apa yang Shikamaru pikirkan.


Dua orang Anbu…


Satu orang yang dapat memanipulasi chakra dan menyembunyikan keberadaan mereka. Satu orang lagi memiliki jurus yang dapat digunakan sebagai serangan untuk membunuh.


“Aku tahu orang-orang yang cocok.” Ucap Kakashi.


“Terima kasih.”


“Aku akan mengaturnya.”


“Apa kau tidak punya hal lain yang ingin dibicarakan mengenai tugasku?” Tanya Shikamaru.


“Tidak ada tugasmu yang lain yang lebih mendesak dari masalah ini" Ucap Kakashi, dan saat itu kau dapat merasakan bahwa ia benar-benar merupakan seorang Hokage.


Ia memperhitungkan berbagai permasalahan penting dengan tenang, dan membuat keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dengan cepat dan tegas . Karena kemampuannya lah shinobi dapat bekerja dibawahnya tanpa khawatir dan memberikan segalanya untuk desa. Shikamaru berpikir mereka mungkin tak akan bisa melakukan apapun tanpanya.


Ia tak pernah berpikir seperti 'aku ingin menjadi Hokage'. Akan tetapi, bohong jika mengatakan bahwa iya tidak merasa sedikitpun termotivasi untuk tumbuh. Di depan pria seperti Kakashi, Shikamaru masihlah muda dan belum berpengalaman, tak bisa dibandingkan dengannya, dan itu membuatnya frustasi.


“Aku akan memerintahkan mereka untuk segera kembali. Kau bisa menunggu sedikit lebih lama, kan?"


“Tolong lakukan secepat mungkin."


“Aku mengerti.” Kakashi tersenyum dibalik maskernya dan berdiri. Ia membelakangi Shikamaru, menerawang ke arah pintu.


“Kau tidak perlu terlalu membebani dirimu sendiri, kau tahu kan." Gumam Kakashi.


Shikamaru tak menjawab.


Membebani dirinya sendiri…


Mungkin bisa dibilang begitu.


Di satu sisi yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, Shikamaru entah bagaimana, berakhir dengan memikul banyak—begitu banyak beban.


Meskipun ia mengatakan bahwa semua hal itu merepotkan, entah bagaimana ia akhirnya bertingkah tidak seperti dirinya, dan memikul begitu banyak hal. Meskipun semua beban ini menjadi terlalu berat untuk dipikulnya, ia pun tak bisa membiarkannya begitu saja.


Shikamaru sebenarnya juga takut.


Ia merasa bahwa ia bisa menyingkirkan segalanya, dan kehilangan dirinya dalam prosesnya. Ia bisa kembali menjadi seseorang yang selalu mengatakan semua hal itu merepotkan. Jika ia menyingkirkan semua kewajiban dan bebannya untuk sesaat, bukankah besar kemungkinan bahwa ia tak akan mengambilnya lagi?


Dan ketika hal itu terjadi, maka apakah itu merupakan keadaan dimana tak ada lagi yang membutuhkannya?


Pikiran itu sendiri sebenarnya sangatlah menakutkan.


“Aku ingin memberitahumu apa yang kupikirkan sekarang.” Kakashi mengangkat tangan kirinya ke udara, membiarkan sekelibat petir muncul. “Saat ini, aku sangat ingin mengabaikan semua kewajibanku sebagai ke Hokage dan pergi ke Negeri Sunyi."


Shikamaru dapat mendengar jelas jeritan frustasi dari hati Kakashi: bagaimana seorang pria ingin mengabaikan segalanya untuk pergi dan membunuh Gengo dengan kedua tangannya.


Tapi tanggung jawabnya sebagai Hokage tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.


“Sejujurnya," Ucap Kakashi "Aku merasa...adalah hal yang tidak pantas bagiku untuk membebanimu dengan hal ini."


“Naruto dan aku, dan semua teman-teman sebaya kami, sudah menempati posisi dengan berbagai beban dan tanggung jawab. Kau tak perlu memikulnya sendirian."


“Apa memang begitu…”


Petir ditangan Kakashi lenyap tanpa menjadi apa-apa.


“Shikamaru.” Kakashi melirik ke arah pemuda berklan Nara itu.


"Aku terkadang berpikir apa sebenarnya arti menjadi dewasa."


“Tolong jangan tanyakan padaku jawabannya." Shikamaru menghela nafas.


-“Aku akan datang lagi." Shikamaru berbicara pada batu nisan. Berpaling sejenak, matanya terpaku pada nama yang terukir pada batu itu: Nara Shikaku.


Secara natural, ia ingin mengunjungi makam ayahnya setelah pertemuannya dengan Kakashi usai.


Apa artinya menjadi orang dewasa? Ia merasa seperti akan menemukan jawaban dari pertanyaan Kakashi disini.


Pada Perang Dunia Shinobi ke-4, ayahnya bersama kelima Kage berada di markas besar aliansi. Setelah kelima Kage berangkat ke garis depan pertarungan karena parahnya keadaan perang, ayah Ino dan ayah Shikamaru ditugaskan untuk memberi arahan kepada seluruh pasukan.


Kemudian, Obito telah membangkitkan Juubi dan membuatnya meluncurkan Bijuudama-nya untuk membuat kekacauan diantara pasukan aliansi. Saat serangan yang mematikan itu mendekat, waktu terakhir Shikaku dihabiskan untuk berpikir dan mengatur strategi selanjutnya untuk pasukan aliansi.


Ia telah menjadi seorang Shinobi hingga akhir hidupnya.


Tidak…


Kenyataannya adalah, hingga akhir hidupnya, Shikaku telah menjadi seorang ayah. Meskipun yang mengetahui kebenaran itu hanya Shikamaru, putranya.


Sebenarnya apa arti menjadi orang dewasa?


Shikamaru memikirkan hal itu sesaat.


Setelah memberikan salam perpisahan pada makam ayahnya, kaki Shikamaru melangkah ke makam yang selanjutnya ingin ia kunjungi.


Makam gurunya.


Sarutobi Asuma…


Ia adalah seorang pria yang telah meninggalkan kehidupan elit yang ia sandang sebagai darah daging Hokage Ketiga, dan lebih memilih untuk berjaga di garis depan.


Setelah Shikamaru lulus dari akademi, dibawah didikan Asuma-lah ia dibesarkan sebagai shinobi seperti sekarang ini. Bersama Ino dan Chouji, ketiganya terus-menerus mengikuti jejak Asuma, berjuang dalam berbagai misi.


Asuma, yang melewati berbagai keadaan krisis dengan rokok di mulutnya dan sikapnya yang santai, telah menjadi inspirasi bagi Shikamaru.


Dan kini, Asuma tak dapat ditemukan lagi di dunia ini.


Ia gugur dalam pertarungan melawan kelompok ‘Akatsuki’ yang berencana untuk menguasai dunia.


Ia mati demi menjaga agar Shikamaru tetap hidup...


Asuma sudah mengetahui bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk menang melawan kemampuan yang tak seperti manusia dari anggota Akatsuki yang mereka hadapi, dan gugur karena mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi Shikamaru dan rekannya yang lain.


Ia juga telah menghabiskan waktu terakhirnya untuk memikirkan orang lain.


Shikamaru belum menemukan sesuatu yang membuatnya mempertaruhkan nyawanya demi melindunginya.


Tentu saja, semua orang di desa ini dan semua temannya sangat berharga untuknya. Namun perasaan itu berbeda dengan rasa ingin melindungi yang ditunjukkan oleh ayahnya dan Asuma.


Mungkin itu artinya Shikamaru belum menjadi orang dewasa.


Awalnya ia berpikir bahwa kata 'dewasa' yang ambigu mengacu pada seorang anak yang karena suatu hal terjebak dalam tubuhnya sendiri.


Dalam kasus itu, bahkan Kakashi pun hatinya masih seperti anak-anak.


Namun Kakashi telah memiliki sesuatu yang membuatnya akan menukarkan nyawanya untuk melindunginya.


‘Untuk seorang Hokage, setiap orang di desa adalah anaknya'. Itu adalah kata-kata dari Ayah Asuma, Hiruzen, Hokage Ketiga.


Mungkin ketika Kakashi memilih untuk menjadi Hokage, maka ia telah menjadi orang dewasa.


Ia tidak lagi yakin tentang hal itu...


“Shika niichan!”


Shikamaru tersadar dari lamunannya karena suara riang yang mencapai telinganya.


Seorang balita montok yang terhuyung-huyung menuju ke arahnya. Berayun ke kiri dan kanan menggunakan kaki kecilnya yang kikuk, ia berjalan ke arah Shikamaru selangkah demi selangkah.


“Mirai.” Shikamaru memanggil namanya, suaranya secara natural berubah menjadi ceria dan penuh perasaan. Rasa tegangnya melunak, dan bibirnya bergerak membentuk senyuman.


“Gyaa!” Mirai kemudian menuju ke tempat ia berdiri, dan memeluk kakinya dengan tangan pendeknya yang kecil. “Shika niichan!”


Balita itu menatapnya dengan matanya yang cerah, wajah mungilnya tersenyum lebar. Senyum balita itu seperti matahari, dan Shikamaru dapat merasakan hatinya yang beku mencair karena kehangatannya.


“Sudah lama ya, Shikamaru.”


“Kurenai-sensei.” Shikamaru memberi salam kepada wanita berambut gelap yang merupakan ibu dari Mirai.


“Aku bukan seorang sensei lagi, berhenti memanggilku seperti itu." Katanya sambil tertawa.


Sarutobi Kurenai…


Sebenarnya, ia merupakan seorang jounin pemimpin seperti Kakashi dan Asuma, yang bertanggung jawab untuk memimpin tim yang beranggotakan beberapa teman sekelas Shikamaru. Namun sekarang ia adalah seorang ibu yang mengabdikan seluruh waktunya untuk merawat anaknya.


“Kau datang untuk mengunjungi makam Asuma?” Tanyanya.


“Iya.”


“Dan makam ayahmu?”


“Aku baru saja mengunjunginya.”


Sembari mendengar pembicaraan mereka dan masih memeluk kaki Shikamaru, Mirai tersenyum dan mengangkat kepalanya.


“Shika niichan! Bertemu ayah!”


Meskipun balita itu baru bisa menggunakan kalimat yang terputus-putus, ia memiliki keinginan yang besar untuk mengungkapkan apa yang ia ingin katakan. Saat melihat ke arah Mirai, hati Shikamaru menghangat.


Untuk menjadi guru dari anak ini...


Adalah janji yang ia buat pada Asuma dan Kurenai.


“Aku tahu, kau kesini untuk bertemu ayahmu, huh?” Shikamaru berjongkok agar ia dapat berbicara dengannya, mata bertemu mata.


Mirai mengangguk senang karena merasa dimengerti.


“Wah, hebat sekali, Mirai.” Ucap Shikamaru, menepuk kepala Mirai dengan lembut. Rasa lembut dari rambut balita yang masih halus itu menjalar di lengannya hingga mencapai hatinya, berubah menjadi rasa tenang yang menyeruak ke dalam perasaannya.


“Cepatlah besar, oke?"


“Mm.”


“Kau benar-benar menyayangi Shikamaru niichan-mu, huh Mirai?” Ucap Kurenai.


Mirai mengangguk dengan antusias hingga ia hampir terjungkal ke depan, dan Shikamaru menggapai untuk menangkapnya dengan kedua tangan.


Demi anak ini, dia benar-benar tak boleh pergi hanya untuk mati...



“Betul sekali!”


Mirai mengatakan kalimat itu pada waktu yang tepat, seolah ia dapat membaca perasaan Shikamaru.


“Baiklah, terima kasih telah menyukaiku."


Shikamaru menggendong Mirai dan mengangkatnya ke udara. Anak perempuan berusia dua tahun itu tertawa girang. Shikamaru berpikir pada dirinya sendiri sekali lagi, lebih kuat dari sebelumnya.


Aku benar-benar tidak boleh mati.

Bersambung...

[English]

-
Shikamaru was in Kakashi’s office.The Sixth Hokage was surrounded by mountains of documents as always, his handhurriedly signing papers as if it was just waiting for the time it could goslack with exhaustion.

“I’ve made you wait.” Kakashi said as he straightened out a sheaf of papers on his desk. “What business do you have with me today?”
“The Country of Silence.”
“Ah, that…”
Shikamaru still hadn’t finished his report about the Union’s meeting the other day. There wasn’t anything particularly special to report, so he’d left it alone.
“Everything’s the same as ever at the Union. It’s made up of a collection of capable people, there’s nothing to worry about.”
“You’re one of those capable people too.”
Was he really? Was he really someone who was fit to represent Konoha?
“Do you really intend to go?” Kakashi asked.
“Yes.”
Kakashi let out a great sigh at his answer.
“Is it really necessary for you to go?”
“Sai’s been captured. Our village has lost a large number of shinobi, both those who went missing during the war and those who ended up disappearing after. Whether they really left the village of their own free will, or ended up being captured by Gengo is something that we have to verify.”
“You’re really determined, huh.”
Shikamaru silently nodded.
Kakashi closed his eyes and shook his head. He looked at Shikamaru again.
“I get it. I won’t say anything more. Who are you thinking of taking? You’re not planning on going all by yourself, right?”
“Could you spare me two people from Anbu?”
“Huh…” Kakashi was cradling his chin in one hand, his elbow resting against his desk. There was a serious look in his eyes. “Wouldn’t Ino and Chouji do?”
“The InoShikaChou combination can be used for sneak attacks, however I don’t think it fits the requirements for this mission.”
“Because it’s assassination, right?”
“Furthermore, infiltration is a great part of this mission. I want people who can hide chakra.”
“Hmm…”
Kakashi closed his eyes and thought. He was taking Shikamaru’s proposal and comparing it to all the other options inside his head.
“The one who deals the killing blow won’t be you, right?”
“I intend to use my jutsu to bind the target.”
“Then you’ll need someone for the killing blow.” Kakashi concluded ahead of any explanation. He understood what Shikamaru was thinking.
Two Anbu…
One that could manipulate chakra, and conceal their presence. Another that held a jutsu which could deliver the killing blow.
“I have suitable people.” Kakashi said.
“Thank you.”
“I’ll make the arrangements.”
“You don’t have anything to tell me about my other duties?” Shikamaru asked.
“None of your other duties are more urgent than this matter.” Kakashi said, and you could feel in that moment that he really was the Hokage.
He calmly assessed the relative importance of various matters, and made quick, firm decisions on which were to be carried out. It was because he was capable like this that shinobi could work under him without worry, and give their all for the village. Shikamaru thought they wouldn’t be able to function without him.
He didn’t have any thoughts like ‘I want to be Hokage’. But, it would’ve been a lie to say he didn’t feel the slightest bit motivated to grow. In front of a man like Kakashi, Shikamaru was still young and inexperienced, unable to compare to him, and it felt frustrating.
“I’ll tell the two I have in mind to return quickly. You can wait a little longer, right?”
“Please do it as quickly as possible.”
“I get it.” Kakashi smiled under his mask and stood up. He turned his back to Shikamaru to gaze out the open window.
“You don’t have to burden yourself so much, you know.” Kakashi murmured.
Shikamaru didn’t answer.
Burdening himself…
Perhaps he was.
In a way even he himself couldn’t understand, Shikamaru had somehow ended up carrying many, many burdens.
Even though he found things bothersome, he’d somehow ended up behaving unlike himself, and carrying so many things. Even though all these burdens were getting far too heavy for him to bear, he couldn’t throw any of them away, either.
Shikamaru was scared to.
He got the feeling that he could end up throwing everything away, and losing himself in the process. He’d started out as someone who found everything bothersome. If he put down all his responsibilities and burdens for just one moment, then wasn’t it highly possible that he wouldn’t ever pick them back up?
And when that happened, then wouldn’t it be the case that nobody would need him anymore?
The thought alone was unbearably frightening.
“I’m going to tell you what I really think now.” Kakashi lifted his left hand into the air, letting tiny bolts of lightning crackle in and out of existence. “Right now, I really want to abandon all my duties as the Hokage and go to the Country of Silence.”
Shikamaru could clearly hear the screaming frustration of Kakashi’s heart: how the man wanted to abandon everything to go and kill Gengo with his own two hands.
But the responsibilities of a Hokage’s position couldn’t be abandoned so easily.
“Honestly,” Kakashi said, “I think it’s inexcusable of me to burden you with this.”
“Naruto and me, and every other one of our peers, we’ve already all attained positions with burdens and responsibilities. There’s no need for you to carry them all by yourself.”
“Is that so…”
The lightning in Kakashi’s left hand melted away into nothing.
“Shikamaru.” Kakashi looked over his shoulder at the Nara. “I wonder what it means to be an adult, sometimes.”
“Please don’t look to me for the answer to that. “ Shikamaru sighed.
-
“I’ll come back again.” Shikamaru said to the gravestone. Turning away, his eyes caught on the name engraved into the stone: Nara Shikaku.
Naturally, he’d wanted to visit his father’s grave after his meeting with Kakashi ended.
What did it mean to be an adult? It felt like he could find the answer to Kakashi’s question here, if anywhere.
In the Fourth Shinobi World War, his father had been with the Five Kage at the alliance’s headquarters. After the Five Kage had gone to the frontline of the battle due to the severity of the fight, Ino’s father and Shikamaru’s father had taken charge of giving directions to the whole army.
Then, Obito had resurrected the Ten Tails and made it send its explosive Tailed Beast Balls in order to cause chaos amidst the Union’s army. As the killing blow had approached, Shikaku’s last moments were spent thinking and conveying further strategies for the army.
He had been a Shinobi to the very end.
No…
The truth was that in his very last moments, Shikaku had been a father. Although the only one who knew that was Shikamaru, as his son.
What was it to be an adult?
Shikamaru thought about that for a while.
Saying goodbye to his father’s grave, Shikamaru’s feet took him to the next person he wanted to visit.
His teacher’s grave.
Sarutobi Asuma…
He was a man who had turned down the path of an elite that he’d been entitled to as the Third Hokage’s flesh and blood, and instead constantly stayed on the frontlines.
After Shikamaru graduated from the Academy, it was under Asuma’s care that he’d been raised into the shinobi he was today. Along with Ino and his best friend Chouji, the three of them had constantly been chasing Asuma’s back, struggling through missions.
Asuma, who’d gone through any crisis with a cigarette in his mouth and his same easy going attitude, had been everything Shikamaru aspired to be.
And yet, that Asuma could no longer be found in this world.
He’d died, in a battle against the ‘Akatsuki’ group who had been making schemes to take over the Earth.
He’d died for the sake of letting Shikamaru live…
Asuma had understood they had no chance of winning against the inhuman abilities of the Akatsuki member they had been faced against, and died while risking his life to protect Shikamaru and his other comrades.
He, too, had spent his last moments thinking of others.
Shikamaru had yet to find anything he would sacrifice himself to protect.
Of course, the people of his village and all his comrades were extremely precious to him. But it felt like those feelings were different from the extent of fierce protection that his father and Asuma had displayed.
Perhaps that meant that Shikamaru still hadn’t become an adult.
He thought that in the first place that ambiguous word ‘adult’ referred to a child who’d at some point simply become trapped in their own body.
In that case, even Kakashi was a child at heart.
But Kakashi already had something he’d trade his life to protect.
‘For a Hokage, every person in the village is his child.’ Those were the words of Asuma’s father, the Third Hokage Hiruzen.
Maybe when Kakashi chose to become Hokage, he’d become an adult.
He wasn’t sure about anything anymore…
“Shika niichan!”
Shikamaru was roused out of his pensive thoughts by the sound of that carefree voice reaching his ears.
A plump toddler was tottering towards him. Swaying left and right with clumsy little feet, she made her way towards him step by step.
“Mirai.” Shikamaru called her name, his voice naturally turning fond and cheerful. His tense features softened, and his mouth moved to turn into a smile.
“Gyaa!” Mirai finally came to where he stood, and clung onto his legs with her short little arms. “Shika niichan!”
The toddler looked up at him with dazzling bright eyes, her tiny face splitting into a wide grin. The toddler’s smile felt like the sun, and Shikamaru could feel his frozen over heart thawing with its warmth.
“It’s been a while, Shikamaru.”
“Kurenai-sensei.” Shikamaru greeted the dark haired woman that was Mirai’s mother.
“I’m not a sensei anymore, so you can stop calling me that.” She said, laughing.
Sarutobi Kurenai…
Originally, she was a jounin leader along with Kakashi and Asuma, in charge of a team made of Shikamaru’s other classmates. But now she was a mother who had devoted all her time to parenting.
“You came to visit Asuma’s grave?” She asked.
“Yeah.”
“And your father’s grave?”
“I’ve just come from visiting him.”
Listening to their conversation and still clinging onto Shikamaru’s leg, Mirai smiled and lifted her head.
“Shika niichan! Met Papa!”
Although the toddler could only manage halting sentences, she was bursting with the need to convey everything she could. Looking down at Mirai, Shikamaru’s heart warmed up.
To become this child’s teacher…
It was a promise he’d made to both Asuma and Kurenai.
“I see, you came to see your Papa, huh?” Shikamaru crouched down so he could speak to her eye to eye.
Mirai gave a delighted nod at being understood.
“Wow, how great of you, Mirai.” Shikamaru said, gently patting her head. The soft feel of the toddler’s still downy hair seemed to travel along his arm and all the way to his heart, turning into a calming breeze that soothed his insides.
“Grow up soon, okay?”
“Mm.”
“You really love your Shikamaru niichan, huh Mirai?” Kurenai said.
Mirai nodded so hard she almost pitched herself forwards, and Shikamaru reached out to catch her with both hands.
For the sake of this child, he really couldn’t go and die just yet…
“Right!”
Mirai babbled the word with such timing, it almost felt like she’d read right into his heart.
“Well, thanks for liking me.”
Shikamaru picked up Mirai and lifted her into the air. As the two year old shrieked with delighted laughter, Shikamaru thought to himself one more time, much stronger than before:
I absolutely cannot die

The window across the room had been thrown open, and youcould see the streets of Konoha outside. The city seemed to glow under thesunshine of the bright morning, all wrapped up in a gentle, peaceful atmosphere.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar