Rabu, 29 April 2015

Shikamaru Hiden: A Cloud Drifting in Silent Darkness Chapter 9 [Translation Indonesia and English]

シ カマル秘伝 闇の黙に浮ぶ雲 Shikamaru Hiden: Yami no Shijima ni Ukabu Kumo (Shikamaru Hiden: A Cloud Drifting in Silent Darkness) ● Dalam Bab 9

 

 


[Indonesia]


Shikamaru sama sekali tak berusaha menyembunyikan rasa menggigil yang menjalari tulang belakangnya karena duduk di lantai yang keras dan dingin.

Disana tidak terdapat jendela. Dindingnya, langit-langitnya, semuanya terbuat dari beton. Ia, Rou, dan Soku duduk membentuk lingkaran di ruangan yang seluruhnya berwarna abu-abu.

Ketiga dari mereka mengenakan jubah panjang Kakusha. Semuanya hasil curian, tentu saja. Bahkan ruangan dimana mereka berada bukanlah milik mereka. Pemiliknya merupakan seorang Kakusha yang dikurung dalam lemari di ruangan sebelah, pingsan karena Jarum Chakra yang melumpuhkan, milik Soku.

Tentu saja, mereka tak lupa melakukan interogasi di tengah aksi pencurian mereka. Hasil dari semua pertanyaan mereka yang berulang-ulang menghasilkan informasi yang cukup banyak.

“Tampaknya kesimpulan awal Shikamaru-dono benar.” Rou memulai pembicaraan. "Negara ini jelas-jelas terlihat seperti dikuasai oleh karakter Gengo dan kharismanya yang kuat serta menakutkan."
Shikamaru mau tak mau harus setuju dengan Rou tentang kharisma Gengo. Mereka harus memancing seorang Kakusha pria yang lain untuk mendapatkan jubah yang panjang untuk Roku, dan seorang Kakusha wanita untuk jubah Soku. Dihitung dengan Minoichi, maka secara keseluruhan sudah tiga Kakusha yang mereka interogasi.
Tiga orang Kakusha, dan ada satu hal yang tak berubah dari setiap keadaan yang mereka pantau, yakni keyakinan yang tak tergoyahkan pada Gengo.
Keyakinan yang para Kakusha miliki terhadap Gengo sangatlah berbeda dari kepercayaan yang shinobi Konoha berikan pada Hokage, atau Naruto.
Manusia merasakan cinta dan penghormatan terhadap manusia lain. Itu lah, menurut Shikamaru, hubungan antara shinobi Konoha dan pemimpin mereka. Manusia menghormati manusia lainnya.
Namun cara mereka memperlakukan Gengo berbeda. Mereka berbicara tentangnya menggunakan ketakutan dan penghormatan yang sama dengan yang seseorang tujukan pada dewa yang hidup. Mereka yakin bahwa sementara mereka adalah manusia, wujud Gengo merupakan sesuatu yang sangat berbeda. Itu merupakan sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan dan menggelisahkan.
Pria macam apa yang mampu membuat orang-orang begitu memujanya?
Shikamaru sedikit menyadari bahwa dari dalam hatinya, ia sendiri merasa penasaran denganjawabannya.
“Baiklah, sudah dikatakan sejak awal bahwa semua ini akan berakhir jika kita mengakhiri Gengo, kau tahu.” Ujar Soku blak-blakan. “Itulah mengapa pria tua ini dan aku yang diperintahkan. Jika kasusnya tidak seperti ini, maka kami tidak dibutuhkan. Meskipun aku lebih menyukai jika keadaannya bukan seperti itu, kau tahu.”
Meskipun komentarnya sedikit tidak sopan, masukan Soku berhubungan dengan pembicaraan mereka.
“Sepertinya pemikiran mereka tentang Gengo telah berubah menjadi sebuah kepercayaan (sejenis pandangan religius).” Ucap Rou.
“Aku juga merasa begitu, kau tahu.” Soku mengangguk. “Sesuatu pasti telah terjadi pada mereka hingga mereka begitu terikat dengannya.”
“Apa yang kau maksud dengan 'sesuatu', Hinoko?”
“Shikamaru-san! Aku sudah bilang jangan sebut namaku!” Soku duduk menahan amarah, jari telunjuknya menunjuk wajah Shikamaru, dari ujungnya keluar chakra oranye. “Jika kau memanggilku dengan namaku lagi, aku benar-benar akan menghantammu!”
Ia begitu marah, ia bahkan tak menambahkan "kau tahu" di akhir kalimatnya.
“Kenapa kau tidak menyukainya? Itu adalah nama yang menarik…” * [Translator’s Note: Hinoko berarti percikan api/bunga api.]
“Itulah mengapa aku tidak menyukainya!” Chakra Soku meraung lebih jelas karena emosinya. “Nama yang keren seperti Gourai [petir yang menderu] atau Shippu [badai yang kencang]atau Kimidare [hujan di musim panas] akan jauh lebih baik!”
Tak peduli seberapa kapabelnya dia, di dalamnya Soku masihlah seorang anak berusia 14 tahun. Kalimatnya yang menggunakan kata nama yang 'keren' sangat di luar dugaan, Shikamaru berusaha keras untuk tidak tertawa.
Dia pasti salah menangkap ekspresi tegang Shikamaru sebagai ekspresi penyesalan, karena chakra yang yang keluar dari ujung jarinya tiba-tiba lenyap.
“Maaf,” ucap Shikamaru, mengontrol kembali dirinya. “Aku tak tahu kau membenci namamu sampai seperti itu. Aku akan berhati-hati untuk tidak menggunakannya.”
“Se- selama kau mengerti…” Soku terlihat malu karena ledakan amarahnya, menunduk ke arah lantai.
Di depan mereka terdapat peta Desa Tirai yang terbentang di lantai. Juga diperoleh dari pemilik ruangan itu.
“Saya katakan, bentuk kota ini seperti jaring laba-laba." Ucap Rou bersedekap, berpikir.
Shikamaru menunduk untuk mempelajari peta itu. Pandangannya jatuh pada gambar istana besar yang berada di tengah kota. Tulisan di sebelahnya menunjukkan ‘Istana Tahanan yang Mengambang’.
[Translator’s Note: ‘Mengambang’ yang dimaksud adalah ‘terkatung-katung’ atau ‘tidak jelas nasibnya’]
“Tahanan yang Mengambang…” Shikamaru bergumam pada dirinya sendiri.
“Itu merupakan istilah yang menghina.” Rou menjelaskan menggunakan pengetahuan kunonya. "Digunakan untuk tahanan perang, atau orang-orang tak beradab di dekat perbatasan ibukota.”
“Menghina, huh…” Pikiran Shikamaru berputar saat ia bergumam dengan keras. “Apakah Gengo yang menamainya? Atau apakah istana itu telah dinamai seperti itu jauh sebelum ia menjadi pemiliknya?"
“Negeri Sunyi selalu menghindari kontak dengan negara lain, dan sebagai konsekuensinya, bahkan kami Anbu Konoha tak memiliki informasi mengenai istana ini."
Shikamaru entah bagaimana merasa bahwa Gengo-lah yang menamai istana itu. Itu hanya merupakan intuisi yang samar, jadi ia tak mengatakan apapun tentang hal itu.
“Kenapa menamai istanamu sendiri dengan nama yang menghina seperti itu…”
“Apakah nama itu memiliki maksud seperti ini? ‘Saat Lima Negara Besar dan negara-negara kecil lainnya mengklaim tanah mereka di kontinen ini, kami orang-orang yang tak beradab dipaksa untuk hidup di pinggiran.' Mereka menghina diri mereka sendiri.” Ucap Rou.
“Itu pasti merupakan hal yang dimaksud.” Shikamaru berkomentar, tenggelam dalam pikirannya.
“Itu bodoh, kau tahu.” Soku menyela dengan cemoohan. Ia diam saja sedari tadi, mendengarkan pembicaraan mereka, namun tampak begitu marah hingga ia tak dapat menghentikan dirinya dari berbicara. “Menghina dirimu sendiri, menyatakan dirimu adalah sampah, kegilaan seperti apa itu? Dan pria sinting serta pesimistis ini mencoba untuk mengubah dunia shinobi? Konyol.”
Ia lupa menambahkan kata 'kau tahu' lagi.
Shikamaru menyadari, Soku benar-benar marah terhadap orang-orang di negara ini karenamemberikan nama yang mencela diri mereka sendiri.
“Mungkin dengan menghina diri mereka sendirilah mereka menemukan keberanian untuk menunjukkan taring mereka dan melawan seluruh dunia.”
Jawaban Soku terhadap penjelasan Shikamaru adalah dengan berpaling karena muak. Ia (Shikamaru) lanjut berbicara.
“Pembalasan dendam muncul karena kebencian terhadap lawanmu. Dan kebencian tak akan pernah muncul dalam diri seseorang jika mereka tidak memulai perkelahian atau memprovokasi pihak lain."
“Kalau begitu, Shikamaru-dono, apakah menurut anda seluruh orang di negara ini membenci negara-negara lain di kontinen ini?”
“Itu merupakan ide yang konyol, kau tahu.” Soku memotong, masih memanas. “Seluruh Kakusha yang menjalankan/memimpin negara ini merupakan mantan shinobi dari negara lain, bukankah begitu?"
Soku benar. Fakta menjadi jelas pada waktu interogasi mereka terhadap ketiga Kakusha. Setiap Kakusha yang terlibat dalam pemerintahan negara ini, awalnya merupakan shinobi dari negara lain. Sebagian dari mereka merupakan shinobi yang hilang dalam perang, dan sisanya merupakan mereka yang menjadi missing-nin selama setahun terakhir, namun mereka semua merupakan penguasa yang berpengaruh, yang bertanggung jawab pada Gengo.
Mereka telah mempelajari bahwa awalnya negara ini juga memiliki Daimyou. Orang yang mengusir Daimyou, membangkitkan para Kakusha, dan mengubah negara dari akarnya, tentu saja tak lain adalah Gengo.
Akan menjadi kesimpulan yang tepat jika mengatakan bahwa seluruh Negeri Sunyi dipimpin oleh shinobi.
“Jika mereka membenci negara lain," Soku melanjutkan, "Maka itu artinya mereka juga membenci desa mereka. Itu bukan hal yang benar.”
Konsep itu tampak asing baginya.
“Ada juga shinobi yang seperti itu.” Ucap Shikamaru hati-hati, menjelaskan dengan nada yang tenang. "Kelompok yang menyebabkan perang besar lalu, 'Akatsuki', hampir semua anggotanya merupakan missing-nin. Mereka adalah kelompok dengan kemampuan luar biasa yang membenci dunia shinobi.”
Kau akan menemukan dirimu terjebak dalam situasi buruk, dan kegelapan mulai menjelma. Bukanlah hal yang mengejutkan jika semua kemarahan dan kebencian membuatmu memberontak di negaramu sendiri. Kau akan menyalahkan desamu karena ketidakberuntun
gan dan penderitaanmu, mengatakan bahwa itu bukan salahmu, namun merupakan salah dari struktur negaramu- tidak, struktur dunia inilah yang harus dipersalahkan.
Karena melalui pemikiran itulah anggota Akatsuki atau Kakusha terlahir.
“Namun, saya katakan, jika ini benar…” Rou berbicara, dan Soku serta Shikamaru terdiam. "Jika ini benar, dan para Kakusha merasakan ketidakpuasan terhadap keadaan dunia shinobi yang sekarang...”
Rou melirik Shikamaru, yang mengangguk menyuruhnya melanjutkan.
“Dan mereka datang ke negara ini dengan rasa tidak puas itu... Namun, baiklah, apa yang mereka lakukan disini sama sekali tak berbeda dengan apa yang telah terjadi di dunia shinobi, bukankah begitu?"
Rou merujuk pada bagaimana para Kakusha mendapatkan penghidupan. Negeri Sunyi membuka rute pesan yang unik untuk bisnis/usaha, dan menerima permintaan misi dari seluruh bagian kontinen. Lebih lagi, standar harga mereka lebih murah dibanding (standar harga) Persatuan Shinobi. Ketika negara-negara besar dan kuat seperti Lima Negara Besar tidak terlalu peduli tentang penurunan harga dibanding kredibilitas, hal itu merupakan suatu keringanan untuk negara-negara kecil di sekitar kontinen yang memiliki sedikit simpanan..
Tak heran jika permintaan misi kepada Persatuan Shinobi merosot tajam.
Tepat seperti yang Rou katakan. Shinobi yang memiliki kebencian terhadap dunia shinobi akan melarikan diri ke Negeri Sunyi- hanya untuk terus menerima permintaan misi layaknya yang dilakukan shinobi.
“Sebuah ‘revolusi yang sesungguhnya'…” Gumam Soku penuh pemikiran.
Ketika Rou dan Shikamaru melihat ke arahnya, gadis itu terlihat gugup.
“Itu yang Minoichi katakan. ‘Tujuan kami adalah untuk menciptakan sebuah revolusi yang sesungguhnya di dunia ini bersama dengan Gengo-sama,’ dan semuanya…”
“Menurutmu mereka menerima permintaan misi demi mencapai tujuan itu?” Tanya Shikamaru.
Soku mengangguk.
“Nah, kalau begitu…pria Gengo itu merupakan ancaman yang harus dilenyapkan.” Gumam Rou.
“Kita telah diberkahi dengan kesempatan yang bagus, kau tahu.” Ucap Soku, menunjuk alun-alun di depan ‘Istana Tahanan yang Mengambang’.
“Alun-alun itu disediakan sebagai tempat pidato… Itu merupakan tempat yang cocok untuk pembunuhan, iya kan?” Rou tertawa, dan melihat Shikamaru dengan gembira.
Pria yang selalu tampak tulus dan sederhana kini membicarakan tentang pembunuhan berdarah dingin dengan senyum di wajahnya. Shikamaru baru saja menyadari, dalam hatinya, bahwa Rou benar-benar merupakan bagian dari Anbu.
“Untuk menyimpulkan apa yang telah kita diskusikan: Rou, kau akan menggunakan jurusmu untuk membantu kita membaur di keramaian alun-alun. Aku akan menggunakan bayanganku untuk mencapai dan menahan Gengo. Soku, kau akan ditempatkan di atap terdekat, memantau dari atas.** Saat kau melihat Gengo menjadi kaku, kau harus segera melayangkan Jarum Chakramu.”
Mereka berdua mengangguk dengan senyuman yang tidak biasa atas perintahnya, seolah mereka telah menunggu-nunggu saat itu tiba.
“Kami mengandalkanmu, Hinoko.”
“Berapa kali aku sudah katakan untuk tidak memanggilku begitu?!” Soku bangkit dan berdiri, memanas karena kemarahan.
“…Empat puluh kali.” Bisik Rou.
“Huh?” Soku melotot ke arah seniornya, mulutnya terbuka karena marah.
“Nama Shikamaru-dono memiliki ‘shi’ untuk ‘4’ dan ‘maru’ untuk ‘0’, jadi…empat puluh.”ujar Rou tanpa perlawanan.
Soku geram.
“Permainan kata-kata lagi!” Ia melangkah maju, “Dan yang itu buruk! Lalu apa yang terjadi pada 'ka'?!”
Rou segera bangkit dan –meskipun berusia 40 tahun, secara signifikan lebih besar daripada juniornya yang pemarah, dan merupakan seorang Anbu- dengan cepat bersembunyi di belakang Shikamaru, meringkuk dari kemarahan remaja berusia 14 tahun.
Tentu saja, ia melakukan tindakan tersebut untuk membuat tertawa, namun itu tak membuat Shikamaru berhenti merasa malu akan sikap mereka berdua.
“Apakah semua akan benar-benar baik-baik saja besok…?” Ia menghela nafas.
Kedua Anbu berdiri tegak, kalimat yang meyakinkan keluar dari mulut mereka.
“Semua akan baik-baik saja, kau tahu!”
“Tak ada yang perlu terlalu anda khawatirkan, Tuan!
Melihat mereka, Shikamaru mengehela nafasnya lagi.

[Translator’s Note]
* Mengingatkan lagi, Kakusha = Yang Tercerahkan
** Pengamatan dari atas yang dimaksud adalah istilah Bird’s Eye View

[English]

Shikamaru didn’t even try to hide the shivers running up his spine from sitting on the cold, concrete floor.
 

There was no window to speak of. The walls, the ceiling, everything was concrete. He, Rou and Soku were sitting in acircle in a completely grey room.
 

All three of them were wearing thelong cloaks of the enlightened ones. All stolen, of course. Even the room theywere currently residing in didn’t belong to them. The real owner was an enlightened one stuffed in a closet in the room next door, knocked out by one of Soku’s paralysing Chakra Needles.
 

Of course, they hadn’t forgotten to do their interrogations in the midst of their thievery. The result of all their cross-questionings was quite a bounty of information.
 

“It seems that Lord Shikamaru was correct in his initial conclusion.” Rou started speaking first. “This country does indeed look like it’s being ruled by this Gengo character and his frighteningly strong charisma.”
 

Shikamaru had to agree with Rou about the charisma. They’d had to lure another male EO [shortened term for Enlightened One/s] to get a long cloak for Rou, and the one female EO for Soku’s cloak. 

Counting Minoichi, that made three EO’s that had been interrogated over all.
 

Three enlightened ones, and yet the one thing that didn’t change in every single scenario was their obsessive, unshakable faith in Gengo.
The faith the EO’s had towards Gengo was clearly different from the trust that Konoha’s shinobi put in the Hokage, or Naruto.
 

Humans feeling love and respect for another human. That was, in Shikamaru’s opinion, the bond between Konoha’s shinobi and their leaders. People respecting other people.
 

But the way the EO’s treated Gengo was different. They spoke of him with the same fear and reverence that one would use for a living god. As if they believed that while they were humans, Gengo’s existence was something else entirely. It was an unshakeable, disturbing faith.
 

What kind of a man could make people adore him to that extent?
Shikamaru noticed with mild alarm that deep down inside, he himself felt curious about the answer.
 

“Well, it’s been said from the start that this whole thing’ll end if we end Gengo, y’know.” Soku bluntly said. “That’s why the old man and I came along in the first place. If that hadn’t been the case, we wouldn’t be needed. Though I’d have liked it if that haven’t been the case, y’know.”
 

Although her last comment was a little rude, Soku’s input was pertinent to the conversation.
 

“It seems that their thoughts towards Gengo have already turned into a religious fervour.” Rou said.
 

“I think so too, y’know.” Soku nodded. “Something has to be up for them to be so fervently attached to him.”
 

“What do you mean by something, Hinoko?”
 

“Shikamaru-san! I told you not to call me by name!” Soku sat up in a fit of temper, her index finger pointing at Shikamaru’s face, the tip of it crackling with orange chakra. “If you call me by name again, I’m seriously gonna pound you!”
 

She was so worked up, she didn’t even add “y’know” to the end of her sentence.
 

“Why don’t you like it? It’s an adorable name…” * [Translator’s Note: Hinoko means sparks of fire.]
 

“That’s why I don’t like it!” Soku’s chakra blared brighter with her temper. “A cool name like Gourai [roaring lightning] or Shippu [swift gale] or Kimidare [summer rain] would have been so much better!”
 

It turned out that no matter how capable a shinobi she was, Soku was still a fourteen year old child on the inside. Her line up of ‘cool’ names were all so unbelievably cheesy, Shikamaru was desperately trying not to laugh.
 

She must have mistaken the strained expression on his face for an apologetic look, because the chakra buzzing at the tip of her finger suddenly went out.
 

“Sorry,” Shikamaru said, regaining control of himself. “I didn’t know you hated your name to that extent. I’ll be careful not to use it.”
 

“A-as long as you understand…” Soku looked somewhat embarrassed at her outburst now, looking down at the floor.
Spread out on the floor in front of the three was a map of Curtain Village. This had also been procured from the owner of the room.
“I say, the shape of this city is truly like a spider’s web.” Rou said, crossing his arms in thought.
 

Shikamaru looked down to study the map as well. His eyes fell on the picture of the large castle at the centre of the city. The text next to it declared it as ‘Floating Prisoner Castle’.
 

“Floating prisoner…” Shikamaru muttered to himself.
 

“It is a derogatory term.” Rou explained with his old-fashioned knowledge. “Used for prisoners of war, or savages living near the borders of a metropolis.”
 

“Derogatory, huh…” Shikamaru’s mind was whirring as he murmured out loud. “Did Gengo give it that name? Or was the castle called that long before he became its master?”
 

“The Country of Silence has always avoided contact with other countries, and as a consequence even we Anbu of Konoha do not have any information on this castle.”
 

Shikamaru somehow had a feeling Gengo
had given the castle that name. It was just a vague sort of intuition though, so he didn’t say anything about it.
 

“Why give your own castle an insulting name like that…”
 

“It comes to this sort of meaning, does it not? ‘As the Five Great Nations and other smaller countries claimed their land on the continent, we were savages forced to live on the outskirts.’ They are insulting themselves.” Rou said.
 

“That’s definitely what it is.” Shikamaru commented, deep in thought.
 

“That’s stupid, y’know.” Soku scornfully interjected. She’d kept quiet until now, listening to them talk, but looked so worked up she couldn’t stop herself from talking. “Insulting yourself, declaring yourself to be scum, what kind of a crazy cruelty is that? And these twisted, pessimistic guys are trying to overturn the world of shinobi? Ridiculous.”
She forgot to add ‘y’know’ again.
 

Soku, Shikamaru realised, was genuinely angry at the people of this country for giving themselves such a self-deprecating name.
 

“It’s probably by insulting themselves that they find the ferocity to bare their fangs and fight the rest of the world.”
 

Soku’s reply to Shikamaru’s explanation was to look away in disgust. He continued speaking.
 

“Revenge is born out of hatred for your opponent. And hatred is never something that can exist in someone without them starting a fight or provoking the other side.”
 

“Then, Lord Shikamaru, are you saying that the people of this country resent the other countries in this continent?”
 

“That’s a ridiculous idea, y’know.” Soku cut in, still steaming. “All the EO’s who run this country are former shinobi from other countries, aren’t they?”
 

Soku was right. The fact had come to light during their interrogation of the three EO’s. Every single EO who was involved with governing this country had originally been a shinobi from another country. Part of them were shinobi who’d gone missing in action during the war, while the rest were those who’d become missing-nin during the past year, but they were all governing authorities who answered to Gengo.
They’d learnt that this country had once had a Daimyou as well. The one who had driven the Daimyou out, raised up the Enlightened Ones and changed the country from the root up was, of course, none other than Gengo.
 

It would be a fitting summary to say that the current Country of Silence was being run completely by shinobi.
 

“If they hate other countries,” Soku continued, “Then that means they hate their own villages as well. That can’t be right.”
The concept seemed alien to her. 

“There are shinobi like that too.” Shikamaru carefully said, explaining in a calm tone. “The group that was the cause of the last great war, the ‘Akatsuki’ were mostly made up of missing-nin. They were a group with exceptional abilities who hated the world of shinobi.”
 

You’d find yourself trapped in a bad situation, and dark feelings would begin to stew. It wasn’t surprising if all that resentment and anger made you lash out at your own country. You’d blame your village for your misfortunes and suffering, say that it wasn’t your fault, but the structure of your country- no, the very structure of the world that was to blame.
 

It was through that kind of thinking that members of the Akatsuki or Enlightened Ones were born.
 

“But, I say, if this is true…” Rou spoke, and Soku and Shikamaru both fell quiet. “If this is true, and the Enlightened Ones feel dissatisfaction towards the current state of shinobi…”
Rou glanced at Shikamaru, who nodded for him to go on.
 

“And they came to this country with those feelings of dissatisfaction…But, well, what they’re doing here isn’t any different from what’s done in the shinobi world, is it?”
 

Rou was referring to how the Enlightened earned a livelihood. The Country of Silence had opened a unique messenger route for business, and was taking on mission requests from all around the continent. What’s more, their standard prices were cheaper than the Union’s. While large and powerful countries like the Five Great Nations didn’t care much about lowered prices over credibility, it was a relief for smaller countries around the continent who had less gold to spare.
 

It was no wonder the mission requests made to the Union had significantly decreased.
 

It was exactly as Rou had said. Shinobi who felt resentful towards the shinobi world ran away to the country of silence- only for them to keep taking on mission requests as only shinobi would. It was a truly ridiculous scenario.
 

“A ‘true revolution’…” Soku thoughtfully murmured.
 

When Rou and Shikamaru both turned to look at her, the girl looked embarrassed.
 

“It’s what Minoichi said. ‘Our goal is to create a true revolution in this world together with Gengo-sama,’ and all…”
 

“You think they’re taking on mission requests for the sake of reaching that goal?” Shikamaru asked.
Soku nodded.
 

“Well, either way…that Gengo fellow is a threat that must be eliminated.” Rou muttered.
 

“We’ve been blessed with a good chance, y’know.” Soku said, pointing at the plaza in front of Floating Prisoner Castle.
 

“The town square reserved for speeches…It’s a fitting stage for an assassination, is it not?” Rou laughed, and looked at Shikamaru with mirth.
 

The man who was always so simple and sincere was now talking about cold-blooded murder with a smile on his face. Shikamaru felt like he was just now realising, deep in his bones, that Rou really was a part of Anbu.
 

“To summarise what we discussed before: Rou, you’ll use your jutsu to help us blend into the crowd at the plaza. I’ll extend my shadow to reach and restrain Gengo. Soku, you’ll be placed at a nearby rooftop with a bird’s eye view. The moment you see Gengo stiffen, you have to send your Chakra Needle flying immediately.”
 

They both nodded at his orders with those same disturbing smiles, as if they were looking forward to the thrill.
 

“We’ll be depending on you, Hinoko.”
 

“How many times do I have to tell you not to call me that?!” Soku got to her feet, steaming with indignation.
 

“…Forty times.” Rou whispered.
 

“Huh?” Soku glared at her senior, her mouth twisting down in temper.
 

“Lord Shikamaru’s name has ‘shi’ for ‘4’ and ‘maru’ for ‘0’, so…forty.” Rou meekly said.
Soku was furious.
 

“Again with the puns!” She strode forward, “And bad ones, at that! What happened to the ‘ka’, then?!”
 

Rou hurriedly got to his feet and –despite being 40 years old, significantly larger than his short-tempered junoir, and an Anbu- quickly hid behind Shikamaru for safety, cowering from the fourteen year old’s rage.
 

Of course, he could’ve been playing his reaction up for laughs, but that didn’t stop Shikamaru from feeling more than a little embarrassed on the two’s behalf.
 

“Is everything really going to be alright tomorrow…?” He sighed.
Both Anbu straightened at once, reassurances spilling out of their mouths.
 

“It’ll be fine, y’know!”
 

“There is absolutely nothing to concern yourself over, Lord!”
Looking at them, Shikamaru let out another sigh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar